Tantangan Program Food Estate, dalam Menjaga Ketahanan Pangan
Oleh: Ardi Saputra
Sektor pertanian di Indonesia sangat penting mengingat peranannya dalam memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (2013) setiap tahun penduduk Indonesia bertambah sebesar empat juta jiwa. Pertumbuhan penduduk tersebut, apabila tidak disertai dengan kenaikan produksi pangan, maka akan ber-peluang menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan penduduknya di masa dating (Purwaningsih, 2008). Lemahnya permodalan dan teknologi pada sektor pertanian khususnya pada subsektor tanaman pangan merupakan salah satu kendala bagi peningkatan produksi pangan Indonesia. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemerintah dalam menyediakan anggaran yang berakibat banyak bidang pelayanan tidak dapat ditangani pemerintah secara maksimal sehingga sektor swasta/privat ikut dilibatkan untuk memenuhi kebutuhan yang belum ditangani tanpa mengambil alih tanggung jawab pemerintah, salah satunya adalah Program Food Estate (Asti et al., 2016). Lalu, pada tanggal 31 Maret tahun 2020 Presiden Joko Widodo memutuskan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) guna menghentikan penyebaran wabah COVID-19. Kebijakan Pemerintah tersebut merupakan implementasi dari UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Sesuai undang-undang, PSBB ini ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan Kepala Gugus Tugas COVID-19 dan kepala daerah (Siagian, 2020). Penerapan PSBB terbukti cukup berhasil menurunkan tingkat penyebaran COVID-19 di beberapa daerah, terutama di Provinsi DKI Jakarta yang merupakan epicenter pandemi COVID-19 di Indonesia (Sutrisno, 2020). Namun manfaat PSBB juga dibarengi dengan munculnya dampak ikutan berupa terganggunya perputaran roda ekonomi. Hal ini terjadi karena selama masa PSBB, ruang gerak dan mobilitas masyarakat dibatasi. Penerapan protokol kesehatan berupa physical distancing (menjaga jarak) membuat kegiatan ekonomi baik proses produksi, distribusi, dan konsumsi mengalami pembatasan. Salah satu rantai kegiatan ekonomi yang terdampak serius adalah komoditas pangan. Kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi bahan pangan terganggu, baik menjadi terbatas atau berhenti sama sekali. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan, akses, utilisasi dan stabilitas bahan pangan masyarakat terganggu. Apabila terjadi berkepanjangan, situasi ini akan membahayakan ketahanan pangan masyarakat dan dalam jangka Panjang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap situasi
ekonomi, politik, dan keamanan nasional. Menyikapi situasi tersebut Presiden Joko Widodo menugaskan Kementerian Pertahanan untuk menjadi leading sector dalam memperkuat cadangan pangan nasional melalui program Food Estate. Walaupun sampai saat ini memang belum terjadi kekurangan bahan pangan pokok akibat COVID-19. Kegiatan di sektor pangan, baik kegiatan produksi, distribusi maupun konsumsi, belum menghadapi gangguan yang berarti akibat pembatasan pergerakan orang atau perubahan permintaan makanan akibat penutupan restoran dan sekolah serta hilangnya pendapatan. Namun demikian akibat pembatasan ekspor yang diberlakukan oleh beberapa negara, arus perdagangan untuk bahan makanan pokok seperti gandum dan beras telah mengalami sedikit gangguan (Sianipar dan Tangkudung, 2020). Landasan pengembangan Food Estate adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 tahun 2018. Pengembangan Food Estate terdiri dari enam kriteria (BAPPENAS, 2020a, 2020b), yaitu pertama kriteria hukum formal seperti tata letak, kepemilikan dan pengelolaan. Kedua, kriteria lingkungan, seperti tanah, air dan agroklimat. Ketiga, kriteria infrastruktur seperti irigasi, transportasi dan energi. Keempat, kriteria budidaya, seperti lingkungan tumbuh, agronomi, fasilitas produksi. Kelima, kriteria sosial dan sumberdaya manusia seperti demografi, lapangan kerja, dan keenam kriteria teknologi seperti kelayakan dan keberlanjutan industry onfarm, off-farm, dan industry pengolahan (Zannati, 2020).
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate pasal 1 ayat 10 Food Estate adalah usaha pangan skala luas yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam melalui upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu kawasan hutan. Food Estate adalah sebuah program jangka panjang pemerintahan Indonesia, yang berguna untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri. Program Food Estate ini memiliki konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup hortikultura tanaman pangan, perkebunan, bahkan peternakan dalam suatu kawasan tertentu yang sangat luas. Program ini dilakukan atas kerjasama Kementerian Pertanian dengan Pemerintah Daerah di beberapa kabupaten di Indonesia. Hasil dari pengembangan konsep Food Estate bisa menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan ekspor (Cahyono, 2009). Dan juga Konsep dasar Food Estate bertumpu pada keterpaduan sektor dan sub-
sektor dalam sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumber daya yang optimal dan berkelanjutan, pengelolaan yang profesional didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kuat (Badan Litbang Pertanian, 2011). Menurut buku pintar Food Estate, Food Estate adalah istilah populer dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (>25 ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), modal, serta organisasi dan manajemen modern. Konsep dasar Food Estate diletakkan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional, didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. Food Estate diarahkan kepada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat/lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah (Setiawan, 2021). Program Food Estate ini dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan Dunia (FAO) dengan menjadikannya sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis bagi pertahanan negara. Food Estate sudah merupakan salah satu Program Strategis Nasional 2020-2024 yang bertujuan membangun lumbung pangan nasional. Nantinya, Food Estate akan menjadi upaya pemerintah RI untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan sebagai dampak pandemi COVID-19. Pembangunannya pun mengintegrasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan pada satu kawasan. Presiden menyatakan bahwa Food Estate ini yang bertanggung jawab pada produksinya adalah Mentan yang bersinergi dengan kementerian lainnya (Mukti, 2020). Diharapkan akan mampu menjadi salah satu pilar penyangga ketahanan pangan nasional, termasuk guna berkontribusi terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional (Sianipar dan Tangkudung, 2020).
Latar belakang mengapa Food Estate dikembangkan adalah : Pertama, melonjaknya permintaan pangan dunia sebandingdengan pertumbuhan penduduk. Kedua, supply pangan dunia yang tidak sebanding dengan permintaan (Global Food Crisis). Ketiga, dengan semakin tingginya laju alih fungsi lahan pertanian (khusunya di Pulau Jawa dan Bali) dan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat, sehingga pangan menjadi komoditas strategis. Keempat, Outflow devisa negara untuk pembiayaan impor beberapa komoditas pangan. Kelima, ketersediaan lahan potensial sebagai lahan cadangan pangan cukup luas (Khususnya di luar Pulau Jawa dan Bali) namun belum tergarap secara optimal, dan membutuhkan modal investasi yang cukup besar, di sisi lain dana
Pemerintah terbatas, sehingga perlu peran investor dalam pengembangan Food Estate, dengan tahap memperhatikan/melindungi kepentingan masyarakat setempat (Badan Litbang Pertanian, 2011). Program Food Estate ini dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan Dunia (FAO) dengan menjadikannya sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis bagi pertahanan negara. Program tersebut akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 dan diharapkan akan mampu menjadi salah satu pilar penyangga ketahanan pangan nasional, termasuk guna berkontribusi terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional. Pemerintah Indonesia mengembangkan program Food Estate sebagai salah satu strategi ketahanan pangan di masa pandemi COVID-19. Sebagai cadangan strategis nasional, Presiden Joko Widodo memberikan mandat kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin pengembangan program strategis tersebut, dengan kerjasama serta koordinasi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Zannati, 2020). Manfaat pembangunan Food Estate yaitu pertama, meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal. Kedua, meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian (mencapai 34,4%). Ketiga, petani dapat mengembangkan usaha tani skala luas. Keempat, terintegrasinya sistem produksi, pengolahan dan perdagangan. Terbuka potensi ekspor pangan ke negara lain, harga pangan menjadi murah akibat produksi pangan melimpah (Anonim, 2021). Pemerintah Pusat juga merencanakan peningkatan penanganan pascapanen dan berupaya mewujudkan pertanian modern agar tidak kalah dengan pertanian di Pulau Jawa. Food Estate berbasis korporasi itu merupakan investasi terintegrasi dari hulu ke hilir sebagai upaya meningkatkan produksi pangan bagi masyarakat Indonesia. Pengembangan Food Estate ini merupakan program dan sinergi seluruh komponen pada pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan pengawasan serta pembiayaannya. Sinergi itu mulai dari sistem hulu, on farm, hilir, hingga distribusi pasar untuk meningkatkan kapasitas dan diversifikasi produksi pangan (Mukti, 2020).
Pada tahun 1995 Food Estate pertama kali dilaksanakan di Kalimantan Tengah dengan mengalokasikan tanah seluas 1.457.100 hektar lahan gambut yang dibagi menjadi lima daerah kerja. Namun, hanya berhasil dibuka 31.000 hektar lahan yang ditempati oleh 13.000 keluarga transmigran. Areal seluas 17.000 hektar kemudian juga dibuka namun belum ditempati sama
sekali dan tersisa 1.409.150 hektar yang tidak digunakan. Food Estate juga dibangun di Bulungan, Kalimantan Utara, pada tahun 2012 diatas lahan seluas 298.221 hektar. Namun, hanya berhasil membuka 1.024 hektar dan hanya lima hektar yang kemudian ditanami. Food Estate dilanjutkan kembali pada tahun 2013 di Ketapang, Kalimantan Barat, yang tercatat memiliki lahan potensi seluas 886.959 hektar walaupun Pemerintah Daerah Ketapang hanya sanggup menargetkan penyediaan lahan seluas 100.000 hektar. Food Estate Ketapang pada tahun 2013 yang hanya sanggup menanam 104 hektar dari 100.000 hektar lahan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Ketapang, walaupun potensi lahannya tercatat sebesar 886.959 hektar. Lalu untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia jangka panjang, pemerintah merencanakan program Food Estate di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan.Dalam program ini, Kementerian Pertanian bersama dengan Pemda Merauke akan memberdayakan lahan-lahan yang belum digarap dengan potensial, untuk dijadikan lahan produksi tanaman pangan. Rencananya 1,2 juta ha lahan akan dibangun hingga 2019. Kemudian Food Estate direncanakan akan dibangun di Kalimantan Tengah pada tahun 2020 sebagai usaha melawan dampak ekonomi yang meredup pada masa pandemi COVID-19 (Anonim, 2021). Pelaksanaan pengembangan Food Estate dilakukan berdasarkan skala ekonomi, yaitu seluas
10.000 hektar dengan klaster seluas 1.000 hektar, dan dikembangkan dalam dua model yaitu pembangunan skala menengah dengan pendekatan intensifikasi dan pembangunan secara besar dengan pendekatan ekstensifikasi. Rencana Food Estate akan dikembangkan di lima propinsi dengan luas total area sekitar 1.700.000 hektar (ha). Lima provinsi tersebut meliputi, Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), Maluku (190.000 ha), dan Papua (1.700.000 ha) (Agam dan Persada, 2017). Pembangunan Food Estate di Kalimantan Tengah tidak akan membuka kembali lahan eks pengembangan lahan gambut (PLG). Pembangunan akan dilakukan dengan intensifikasi lahan pertanian atau mengoptimalkan pemanfaatan lahan eks PLG dan non eks PLG yang sudah ada dengan cara meningkatkan indeks pertanaman. Pengoptimalan itu dilakukan dengan penerapan teknologi 4.0, seperti pemberian bibit unggul (perbaikan varietas), pemupukan berimbang, dan penggunaan alat mesin pertanian (alsintan), sehingga ditargetkan produktivitas bisa mencapai 7 ton/hektar (Mukti, 2020).
Kemudian syarat penentuan lokasi untuk lahan Food Estate adalah pertama, aspek kesesuaian lahan, dan/atau kondisi eksisting budidaya di lokasi yang akan dikembangkan. Kedua,
Status lahan Clear dan Clean serta tidak dalam sengketa. Contohnya hutan lindung harus dipilih saat tidak dalam sengketa karena akan memperlambat kinerja Food Estate. Ketiga, lokasi tidak sedang atau direncanakan (dalam musim tanam yang sama) melaksanakan atau menerima kegiatan sejenis dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, karen akan membutuhkan waktu yang lama. Keempat, lokasi dilengkapi dengan koordinat (LU/LS – BB/BT), dan kelima tidak ada ganti rugi lahan terhadap lokasi. Lokasi harus milik negara. Kemudian di lokasi tersebut sudah memiliki ketersediaan air yang cukup untuk irigasi dan jaringan irigasinya sudah intensif di masing – masing blok sawah serta memiliki kualitas petani dan sistem teknologi pendukung produksi pertanian yang baik (Antoro, 2020). Lalu, di lokasi tersebut sudah mempunyai peralatan dan mesin – mesin pertanian (alsintan) diperlukan untuk mendukung pembangunan Food Estate. Alsintan itu, antara lain traktor roda 4 dan 2, pompa air, rice transplatter, hand sprayer, drone tabur benih, dan combine harvester (Mukti, 2020).
Lalu dalam menjalankan Program Food Estate ini ditemui berbagai kendala yaitu, masalah pembebasan lahan, saat di lapangan tidak mencapai 108 ha. Ada subjek sama dan tidak sesuai aka nada perubahan data fisik. Tapi pemerintah memiliki jalan keluar yaitu penyelesain dengan sapu jagat, Kedua, irigasi tersumbat karena pembangunan yang belum merata otomatis akan mempersulit pembangunan irigasi. Daerah Kalimantan dan Nusa Tenggara banyak lahan yang masih kering jadi sulit untuk irigasi. Ketiga, manajemen air yang bagus dan bagaimana menyehatkan tanah, SDM masih terbatas petani juga masih awam sehingga perlu diberi sosialiasasi. Keempat, masalah distribusi pangan yaitu saat pemanenan, Food Estate hanya ada diluar pulau jawa, sedangkan yang butuh pangan kebanyakan berasal dari Pulau Jawa. Kendala ada di saat distribusi hasil untuk ke pulau-pulau lain sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam disribusi pangan hasil panen. Kemudian pelaksanaan Program Food Estate yang berlangsung diatas lahan PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Desa Gunung Mas dan Pulang Pisang Provinsi Kalimantan Tengah prosesnya tidak semudah direncanakan. Menurut Eli Nur Nirmala Sri (WRI Indonesia) lahan gambut di Kalimantan Tengah bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, tetapi dalam prakteknya tidak suistainable dan sifatnya merusak. Seperti diketahui karakteristik lahan gambut yaitu, mudah mengalami kekeringan dan tidak kembali ke lahan basah / irreversible drying ketika sudah diolah oleh pertanian jenis lain, hal ini dapat menyebabkan daya serap air di lahan gambut menurun, Lahan gambut mudah turun atau subsidence, maksudnya lahan gambut yang sudah diolah tidak memperhatikan kedalaman lahan gambut lapisan lahan akan semakin tipis
dan mudah terbakar, rendahnya daya dukung atau bearing capacity lahan, rendahnya kandungan unsur hara, dan terbatasnya jumlah mikroorganisme. Desa Gunung Mas dan Pulang Pisau merupakan dua desa yang memiliki karakteristik tanah yang hampir sama, banyak dampak negatif yang dirasakan masyarakat hukum adat terhadap lingkungan begitu juga kondisi sosial yang dialami, antara lain : Dalam proses pengelolaan PLG untuk Food Estate di Desa Gunung Mas dan Pulang Pisau tidak melakukan pembukaan lahan baru. Hal ini menyebabkan mikroorganisme lahan gambut menghilang dan mudah turun. Akibatnya ketika musim hujan tiba, hujan turun ditengah- tengah kondisi lahan gambut olahan, lahan tersebut tidak dapat menampung air hujan dengan baik. Khususnya dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, dikatakan bahwa Food Estate adalah usaha pangan skala luas sehingga akibatnya menghasilkan dampak negatif yaitu deforestasi yang signifikan. Lalu menyebabkan ekosistem lahan gambut rusak karena diawal pembangunan program Food Estate tidak menerapkan pembukaan lahan baru. Menurut Direktur Save Our Borneo, alangkah lebih baiknya apabila lahan gambut yang akan ditanami produk singkong dan padi harus di rehabilitasi terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan, agar mikroorganisme tidak hilang. Lahan gambut mempunyai karakteristik (baik fisik maupun kimia) yang berbeda dengan tanah mineral, sehingga untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan lahan, diperlukan penanganan dan pemnafaatannya dilakukan secara hati – hati melalui pengelolaan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, lahan terdegradasi menjadi kering dan mudah terbakar di musim kemarau, banyak karbon terlepas ke atmosfer dan sungai akibat pengelolaan lahan gambut yang tidak tepat sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir pada musim hujan (Baringbing, 2021). Kemudian permasalahan Program Food Estate berkaitan dengan beberapa isu seperti Isu terkait pembukaan lahan dan kebakaran hutan di lahan gambut. Rencana pemerintah untuk membuka lahan eks-PLG untuk dijadikan lokasi cetak sawah baru memunculkan kekhawatiran akan terjadinya kebakaran berulang di lahan gambut yang berpotensi merugikan negara. Hasil analisis Pantau Gambut mengenai area terbakar (burned area) menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya. Pada tahun 2019, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167 ribu hektar (ha). Kondisi ini berpotensi diperparah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 24/2020 yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate. Kajian kebijakan yang dikeluarkan Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) menemukan bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan Undang- Undang (UU) No. 41/1999 tentang Kehutanan yang telah mengatur secara terbatas pemanfaatan hutan lindung yaitu untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dengan diperbolehkannya penggunaan kawasan hutan lindung menjadi kawasan Food Estate dikhawatirkan akan meningkatkan laju deforestasi yang justru bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan sebagai komitmen Indonesia dalam upaya pencegahan perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak buruk bagi pertanian karena berpotensi memicu terjadinya kekeringan, banjir, serangan hama, serta menyulitkan petani dalam memprediksi musim panen. Kemudian ada isu sosial, pada Program Food Estate Kalimantan Tengah adalah penyediaan tenaga kerja yang akan menggarap program ini dan isu keterlibatan masyarakat lokal. Pasalnya, berdasarkan hasil paparan Direktur Yayasan Petak Danum, Muliadi, keterlibatan petani dan masyarakat lokal dalam program Food Estate ini baru di tahap sosialisasi. Perencanaan Food Estate yang tidak melibatkan masyarakat dan petani lokal akan menyebabkan hilangnya hak kelola tanah untuk pangan dan ruang hidup masyarakat lokal. Kemungkinan besar tenaga kerja akan didatangkan dalam program transmigrasi untuk menggarap lahan yang ada. Perencanaan pendatangan transmigran ini juga harus dipersiapkan secara matang, karena apabila tidak, para pendatang akan sulit beradaptasi dengan budaya lokal sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan konflik antara masyarakat lokal dan pendatang. Selain itu, keterbatasan pengetahuan transmigran terkait keterampilan yang cukup untuk pertanian di lahan basah akan menimbulkan masalah lain yang menyebabkan terlantarnya lahan yang dikelola akibat gagal dalam pengelolaannya. Selanjutnya, isu produktivitas pertanian padi di lahan gambut, Banyak faktor yang menyebabkan produktivitas padi di lahan gambut cenderung lebih rendah dibandingkan dengan padi di lahan mineral. Pertama, rendahnya kandungan unsur hara makro dan mikro yang tersedia untuk tanaman di lahan gambut membuat produktivitas padi rendah. Lahan gambut sangat miskin unsur hara karena kurangnya kandungan mineral. Kedua, tingkat keasaman yang tinggi di lahan gambut menyebabkan beberapa jenis tanaman tidak dapat tumbuh baik. Ketiga, penggunaan teknologi usaha tani yang masih kurang tepat. Keempat, jika dikelola dengan sistem sawah, gambut juga akan menghasilkan asam-asam organik beracun. Selain itu, perlu diingat bahwa penggunaan alat berat di atas gambut yang notabene memiliki daya dukung (bearing capacity) yang rendah akan memicu proses pemadatan gambut yang berdampak pada penurunan permukaan tanah yang akan menyebabkan banjir di wilayah tersebut. Terakhir, isu keterbukaan dan
keakuratan informasi. Selain isu-isu kontroversial Program Food Estate dan ancaman kebakaran hutan dan lahan, informasi mengenai lokasi dan luasan cetak sawah pun masih simpang siur. Beberapa pihak menyebutkan angka luasan rencana cetak sawah yang berbeda-beda. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan, pihaknya tengah menyiapkan 900.000 ha lahan untuk mendukung program tersebut. Namun, dalam rapat lanjutan pembahasan Food Estate pada tanggal 23 September 2020, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Food Estate akan dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah di lahan seluas 148 ribu ha yang sudah memiliki jaringan irigasi untuk tanaman padi dan 622 ribu ha daerah non-irigasi untuk tanaman singkong, jagung dan peternakan. Ditengah simpang siur informasi yang beredar, pemerintah belum juga mempublikasikan hasil kajian kesesuaian lahan dan peta lokasi program cetak sawah ini. Kelanjutan perencanaan lokasi cetak sawah (ekstensifikasi) tersebut dikhawatirkan masih akan masuk ke area lindung. Jika hal ini benar terjadi, maka dipastikan akan terjadi dampak sosial dan lingkungan yang besar (Anonim, 2021).
Setelah diterapkannya Program Food Estate ini petani mulai merasakan dampaknya, yaitu Pertama, memperburuk kesenjangan pemilikan lahan. Pengusaha tidak jarang hadapi petani kecil dengan ketidakadilan. Kedua, tidak adanya kejelasan regulasi soal distribusi pangan pada Food Estate. 24 juta petani masih membutuhkan pangan berupa beras. Ketiga, kepemilikan modal bias kepentingan asing. Keempat, tiadak adanya posisi yang setara bagi petani dalam pola kemitraan. Food Estate hanyalah jawaban bagi investor dan negara-negara kaya, tetapi bukan bagi puluhan juta petani dan rakyat kebanyakan di tengah membumbungnya harga pangan dunia.Kemudian Food Estate tidak membuka kesempatan kepada masyarakta local terkhususnya petani dalam pembuatan keputusan. Hal ini dirasakan oleh masyarakat di Desa Gunung Mas dan Pulang Pisau ketika Food Estate direncanakan akan dibangun dilahan PLG tidak meminta pendapat masyarakat lokal, Padahal pada kenyataannya, masyarakat adalah penduduk yang mengetahui, memahami karakteristik lahan. Berpuluh-puluh tahun mereka beradaptasi serta bertahan hidup dari pertanian di atas lahan gambut. Namun realitasnya surat dari Gubernur Kalimantan Tengah No.522/102/Dishut tentang Usulan Pencadangan Areal untuk Pengembangan food esate di Provinsi Kalimantan Tengah, pada tanggal 20 Februari 2017 merupakan permintan dari Pemerintah Pusat bukan inisatif Pemerintah Daerah (Hartono 2021). Hal tersebut melanggar hukum, dalam pasal 7 ayat 2 huruf F UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan “memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum keputusan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (Baringbing, 2021). Lalu, program yang dilakukan untuk meningkatkan pasokan pangan nasional realitasnya telah meminggirkan sumber-sumber pangan penduduk lokal yang berdampak pada ancaman peri kehidupannya. Proses perampasan lahan, rekayasa teknologi dan peminggiran pengetahuan lokal akibat proyek Food Estate menyebabkan sumber pangan penduduk setempat menjadi semakin dikorbankan Kekhawatiran Levang (2003) semakin diperparah dengan upaya pemerintah untuk menjadikan korporasi sebagai pelaksana program peningkatan produksi pangan. Rumah tangga tani seolah-olah tidak dianggap lagi sebagai penopang penting dalam pelaksanaan peningkatan produksi pangan yang diklaim akan menghadapi kondisi “rentan.” Anggaran subsidi maupun pinjaman modal dengan bunga rendah kemudian juga dialihkan untuk diberikan kepada korporasi besar yang akan berinvestasi dalam proyek Food Estate. Lahan-lahan adat yang menjadi sumber pangan dari penduduk setempat telah diambilalih oleh korporasi dan semakin memperparah kondisi kerawanan pangan yang harus dialami penduduk lokal (Kamim dan Altamaha, 2019).
Lalu, dari pembahasan yang telah dijabarkan tersebut apakah siap Food Estate menjadi program ketahanan pangan? Sebelumnya telah disebutkan bahwa program Food Estate ini dari rezim ke rezim selalu mengalami kegagalan karena perencanaan yang tidak matang, selalu terjadi perubahan lanskap alam dalam skala yang besar sehingga merusak keseimbangan ekosistem, tidak pernah memberikan ruang untuk proses integrasi sosial – budaya warga setempat, dan pengelolaan Food Estate oleh korporasi juga memunculkan ruang untuk makelar/free riders yang hanya menguntungkan lapisan elit sosial dan merugikan posisi masyarakat secara keseluruhan dengan memperbesar ketimpangan sosial, serta memunculkan praktik – praktik korupsi yang merugikan negara. PLG sejuta hektar di Kalimantan Tengah jaman Presiden Soeharto, Merauke Integrated Food and Energy Estate era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketapang Food Estate yang direncanakan oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan, pada tahun 2012 – 2014 merupakan beberapa contoh program Food Estate yang mengalami kegagalan. Melihat rekam jejak pembentukan Food Estate di Indonesia, beberapa ahli turut memberikan evaluasinya. Prof. Notohadiprawiro yang dikutip dari laporan investigasi Tempo mencatat beberapa sumber utama kegagalan PLG, yaitu perancang mengabaikan data tanah sehingga saluran – saluran primer induk memotong lahan gambut tebal, menyatukan seluruh kawasan proyek dalam satu kesatuan tata air dengan asumsi bawah tanah, topografi, dan hidrologi di seluruh proyek serba sama. Padahal tim ahli yang 10 menilai risiko lingkungan telah memperingatkan risiko kegagalan tersebut kepada
pemerintah. Untuk membangun Food Estate dalam skala besar, terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi, yaitu (1) kelayakan agroklimat dan tanah, (2) kelayakan infrastruktur, (3) teknologi, dan
- aspek sosial Mengutip tulisan Goldstein di tahun 2016 12 mengenai refleksi terhadap kebijakan Food Estate di Indonesia, PLG sebagai “Mega Rice Project” sepanjang tahun 1995- 1999 dianggap sebagai salah satu bencana lingkungan hidup terbesar dalam rekam jejak Indonesia, karena selain mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besar, proyek tersebut bahkan tidak menghasilkan beras. Di Bulungan pun mengalami nasib serupa. Mengutip Setyo dan Elly dalam penelitian mengenai masalah peningkatan produksi padi melalui proyek Food Estate di Bulungan di tahun 2018, proyek tersebut tidak dapat dikatakan berjalan optimal karena setelah enam tahun program berjalan tidak ditemukan adanya hasil yang signifikan. Beberapa permasalahan yang ditemukan. antara lain status lahan yang belum c l e a n and clear, peningkatan produksi terfokus pada padi padahal peta mengenai kecocokan tanaman padi belum tersedia, rendahnya produktivitas, dan infrastruktur pertanian yang tidak memadai. Pengembangan MIFEE juga tidak luput dari permasalahan. Proyek MIFEE yang mengalokasikan lebih dari 1 juta ha lahan sebagai pusat pangan nasional. Proyek ini juga dianggap gagal. Realisasi lahan yang masih bertahan hingga sekarang hanya 400 ha. Belajar dari hal ini dan melihat akan dibangunnya proyek serupa di masa kini, seharusnya penyelenggaran proyek tersebut tidak dilakukan dengan spekulatif dan harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Eryan et al., 2020).
Jika pemerintah benar – benar serius agar program Food Estate ini dapat dijadikan sebagai ketahanan pangan dalam negeri pemerintah harus memenuhi empat kriteria pengukur ketahanan pangan yang ditetapkan FAO yaitu : availability, access, utility dan stability. Availability mengukur ketersediaan pasokan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat; access mengukur kemampuan masyarakat dalam memperoleh bahan pangan yang dibutuhkan, utility menyangkut ukuran apakah masyarakat memiliki asupan nutrisi yang cukup dari pangan yang dikonsumsi, dan stability mengukur apakah masyarakat mampu mengakses pangan yang dibutuhkan setiap saat (Sianipar dan Tangkudung, 2020). Namun, untuk saat ini pemerintah belum dapat memenuhi empat kriteria tersebut, sehingga dapat dikatakan Food Estate belum bisa menjadi program ketahanan pangan untuk saat ini. Selain empat kriteria tersebut, menurut Global Food Security Index (GFSI) ada tiga poin penilaian indeks ketahanan pangan Indonesia yang dibawah rata – rata yaitu Keterjangkauan, ketersediaaan, dan kualitas. Untuk keterjangkauan, Produk domestik bruto
per kapita rendah dan akses pembiayaan bagi petani masih sulit. Untuk ketersediaan, pengeluaran publik untuk riset dan pengembangan pertanian kurang, infrastruktur pertanian terbatas, praktik korupsi dalam distribusi pangan dan pemberian subsidi pada petani masih sering terjadi, dan kehilangan makanan (food loss) tinggi. Untuk kualitas dan keamanan, keragaman makanan rendah, ketersediaan mikronutrien pada makanan kurang, dan kualitas protein kurang (Anonim, 2019).
Beberapa rekomendasi untuk percepatan pelaksanaan Food Estate adalah : Pertama, membentuk Badan Otoritas Food Estate (BOFE) yang ditopang oleh litbang perguruan tinggi untuk memperkuat perencanaan hingga implementasi, koordinasi lintas disiplin, lintas sektoral dan lintas kementerian/lembaga. Keberadaan BOFE akan mempertegas komitmen politik pangan nasional, mengurangi gejolak dan imbas dinamika politik lokal, serta mewadahi aspirasi masyarakat. Kedua, melakukan mobilisasi Perguruan Tinggi untuk mengawal transformasi sosio- kultur masyarakat dalam perubahan gaya hidup, sumber nafkah dan aktifitas keseharian. Pendampingan tersebut juga dimaksudkan untuk mengharmonikan jika muncul guncangan sosial yang nyata dalam masyarakat. Ketiga, Mengkaji model local partnership dengan investor dalam mengelola lahan tanpa mengalihkan kepemilikan. Model tersebut perlu sejalan dengan program Reforma Agraria. Model tersebut juga dapat menepis isu land grabing yang dapat menimbulkan disharmoni. Keempat, Mengembangkan kegiatan pertanian padat modal secara ramah lingkungan dan hemat input (low exernal input) dapat mengurangi resistensi masyarakat. Kapasitas dan ketrampilan tenaga lokal ditingkatkan dan ditopang melalui pendidikan dalam ‘community college. Kelima, Melindungan lokasi sakral masyarakat melalui bentuk yang lebih produktif seperti penggunaan tanaman bernilai ekonomi atau eksotis sehingga pada waktunya dapat menjadi unit aktivitas agrowisata disamping memperkuat eksistensi budaya tani yang ada (Santosa, 2014). Kemudian pemerintah dapat juga mengatasi ancaman krisis pangan dengan cara berikut :
1. Memperbaiki poin penilaian Indonesia yang masih kurang dalam hal ketahanan pangan
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Global Food Security Index (GFSI), Indeks Ketahanan Pangan Indonesia naik dari peringkat 65 pada tahun 2018 menjadi peringkat 62 di tahun 2019. Namun, menurut data GFSI menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kekurangan, terutama dari sisi perbaikan akses distribusi pangan, peningkatan kualitas protein dan mikronutrien pangan, pemberantasan korupsi, serta perbaikan akses
pembiayaan bagi petani. Oleh karena itu, Indonesia juga harus memperbaiki poin-poin kekurangan tersebut dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional.
2. Tidak melakukan alih fungsi kawasan hutan dan gambut
Kawasan hutan dan gambut merupakan sumber makanan, obat-obatan dan keperluan sehari-hari lainnya bagi masyarakat lokal. Kawasan ini juga merupakan sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang berperan sangat penting dalam menjamin ketahanan pangan, lingkungan dan kesehatan penduduk bumi. Selain itu, kawasan hutan dan gambut juga berperan penting dalam menjaga pemanasan global yang dapat berdampak negatif terhadap ketahanan pangan. Oleh karena itu, mengalihkan fungsi kawasan ini untuk tujuan produksi pangan dalam jangka panjang justru berdampak sebaliknya, yaitu mengurangi produksi pangan.
3. Melakukan diversifikasi pangan dengan alternatif pangan lokal
Diversifikasi dinilai baik dalam mengatasi krisis pangan, karena selama ini beras masih menjadi sumber pangan utama masyarakat Indonesia. Pada penilaian GFSI tahun 2019, Indonesia memperoleh nilai rendah terkait keanekaragaman pangannya. Diversifikasi pangan dapat dilakukan di lahan-lahan gambut terdegradasi dengan komoditas pangan lokal yang ramah gambut, misalnya sagu. Pemerintah dapat membantu masyarakat dalam hal pendampingan, sosialisasi, dan peningkatan kapasitas masyarakat terkait pengembangan komoditas pangan lokal yang ramah gambut sehingga dapat mendorong peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
4. Intensifikasi lahan pertanian yang sudah ada
Intensifikasi lahan pertanian dapat dimulai dengan mengidentifikasi lahan pertanian yang masih minim tingkat produktivitasnya. Lahan prioritas intensifikasi dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa faktor, semisal akses distribusi, lokasi yang dekat dengan pasar, gudang penyimpanan, dan lainnya. Pengembangan lahan pertanian yang sudah ada dapat menjadi solusi tepat guna dalam meningkatkan produksi dengan cara melakukan peningkatan mekanisasi pertanian, perbaikan irigasi yang kurang berfungsi, perbaikan
pemupukan, dan pemilihan benih unggul padi. Pengolahan pascapanen juga perlu diperbaiki sehingga produksi dapat ditingkatkan.
Menurut Mukti (2020) Pemberdayaan pertanian lokal dapat dijadikan solusi untuk keberhasilan Program Food Estate di era sekarang adalah sebagai berikut :
- Pelaku utama pembangunan Food Estate di Kalimantan Tengah ini terutama adalah para petani setempat. Kewajiban pemerintah yang utama adalah membantu mereka dengan menjalankan berbagai usaha yang dapat menciptakan suatu iklim, di mana para pelaku pembangunan ini bersedia dan mampu melakukan pembangunan Food Estate yang sukses sebagaimana yang
- Setiap pelaku pembangunan khususnya para petani mempunyai kebebasan memilih, jenis pembangunan Food Estate apa yang akan mereka lakukan, bagaimana caranya, dan bilamana pembangunan itu akan dilakukan, untuk apa hasilnya nanti akan digunakan, dan Tetapi di dalam melakukan haknya untuk memilih, mereka selalu dipengaruhi oleh dua hal pokok yaitu (a) Oleh kesediaannya sendiri, dan (b) Oleh keadaan yang ada di sekelilingnya, yang terdiri dari modal, skill, tenaga, alam, dan kebutuhan akan bertambahnya hasil. Berhubungan dengan itu, maka pemerintah mempunyai kesempatan untuk mengarahkan hak pilih daripada petani dengan mengatur keadaan yang ada di sekitar petani.
- Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan petani, yang sekaligus juga merupakan faktor- faktor yang dapat dipergunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan program Food Estate terdiri dari faktor utama dan faktor pelancar. Faktor utama (mutlak) yaitu faktor-faktor yang harus ada supaya pembangunan pertanian dapat berlangsung, terdiri dari : (a) Pasar untuk hasil produksi, (b) Teknologi maju, (c) Tersedianya sarana produksi (alat-alat dan bahan-bahan) secara lokal, (d) Perangsang Produksi, dan (e) Faktor pelancar (akselerator) yaitu faktor-faktor yang dapat mempercepat terjadinya pembangunan pertanian, yang terdiri dari : (a) Pendidikan Pembangunan, (b) Kredit produksi, (c) Kegiatan gotong royong oleh para petani, (d) Perbaikan dan Perluasan Tanah Pertanian, dan (e) Perencanaan Nasional untuk Pembangunan Pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Agam, S., dan K. Persada. 2017. Food Estate : Pangan melimpah, harga lebih murah Indonesia baik. http://indonesiabaik.id. Diakses pada tanggal 2 November 2021 pukul 20.00 WIB.
Anonim. 2021. Food Estate di Indonesia. https://theforestscribe.id/id/food-estate-di-indonesia/.
Diakses pada tanggal 2 November 2021 pukul 19.30 WIB.
Anonim. 2021. Food Estate Kalimantan Tengah, kebijakan instan sarat kontroversi. https://foodestate.pantaugambut.id/frontend/files/Kajian-Food-Estate-PG-16.02.2021.pdf. Diakses pada tanggal 6 November 2021 pukul 12.00 WIB
Antoro, T. 2020. Ini syarat sukses Food Estate di kalteng. https://infopublik.id/kategori/nasional- ekonomi-bisnis/466767/ini-syarat-sukses-food-estate-di-kalteng. Diakses pada tanggal 2 November 2021 pukul 20.30 WIB.
Asti, D. S. Priyarsono., dan Sahara. 2016. Analisis biaya manfaat program pembangunan Food Estate dalam perspektif perencanaan wilayah : studi kasus Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Agribisnis Indonesia. 4(2) : 79 – 90.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana. 2013. Pertumbuhan Penduduk Indonesia. Jakarta (ID): BKKBN.
Badan Litbang Pertanian, 2011. Buku Pintar Food Estate. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. http://www.litbang.pertanian.go.id/infoaktual/819/file/bagian-1. Diakses pada tanggal 6 November pukul 15.00 WIB.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). (2020a). Pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). (2020b). Perkembangan Ekonomi Indonesia Dan Dunia Ancaman Resesi Dunia Akibat Pandemi Triwulan I Tahun 2020. Kedeputian Bidang Ekonomi Kementerian PPN. 4(1). ISSN 2580-2518.
Baringbing, M. S. 2021. Problematika lingkungan terhadap regulasi Food Estate sebagai program strategis nasional di Desa Gunung Mas dan Pulang Pisau Kalimantan Tengah. 7(1) : 353 –
- Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang.
Cahyono, T. W. 2009. Food Estate : Konsep Pengembangan Pangan. https://news.detik.com/opini/d-1252310/food-estate-konsep-pengembangan-pangan.
Diakses tanggal 1 November 2021 pukul 20.00 WIB.
Eryan, A., D. Shafira., dan E. E. L. T. Wongkar. 2020. Analisis hukum pembangunan Food Estate di kawasan hutan lindung. https://icel.or.id/wp-content/uploads/ICEL_Seri-Analisis- Food-Estate-Rev.2.opt_.pdf. Diakses pada tanggal 6 Novemver 2021 pukul 20.00 WIB.
Hartono, D. N. 2021. Food Estate, menakar politik pangan Indonesia Kajian atas proyek Food Estate Kalimantan Tengah Table of Content. Palangka Raya : Walhi Kalteng.
Kamim, A. B. M., dan R. Altamaha. 2019. Modernissasi pembangunan dalam proyek Food Estate
di Bulungan dan Merauke. Jurnal Agraria dan pertahanan. 5(2) : 163 – 179.
Levang, P 2003, Ayo ke tanah sabrang: Transmigrasi di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Mukti, A. 2020. Pemberdayaan pertanian lokal dalam menopang keberhasilan program Food Estate di Kalimantan Tengah. Journal socio ekonomics agricultural. 15(2) : 97 – 107.
Purwaningsih Y. 2008. Ketahanan pangan : situasi, permasalahan, kebijakan dan pemberdayaan masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 9(1) : 1 – 27.
Santosa, E. 2014. Percepatan Pengembangan Food Estate untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. Risalah kebijakan pertanian dan lingkungan. 1(2) : 80 – 85.
Setiawan, F. 2021. Apa itu Food Estate. https://dppp.bangkaselatankab.go.id/post/detail/1110-apa- itu-food-estate. Diakses pada tanggal 1 November 2021 pukul 20.00 WIB.
Siagian., Henri. 2020. Presiden Jokowi Tetapkan Pembatasan Sosial berskala Besar. https://mediaindonesia.com/read/detail/300209-presiden-jokowi-tetapkan-pembatasan- sosial-berskala-besar. Diakses pada tanggal 1 November 2021 pukul 20.00 WIB.
Sianipar, B., dan A. G. Tangkudung. 2020. Tinjauan ekonomi, politik dan keamanan terhadap pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah sebagai alternatif menjaga ketahanan pangan di tengah pandemi covid-19. Jurnal keamanan nasional. 6(2) : 235 – 248.
Sutrisno, B. 2020. “Govt claims Jakarta, epicenter of Indonesia’s COVID-19 outbreak, has flattened the curve”, The Jakarta Post.
Zannati, A. 2020. Ketahanan pangan di masa Pandemi COVID-19 : Langkah Indonesia dengan
Food Estate. BioTrends. 11(2) : 29 – 34.