Pro Kontra Food Estate, Antara Mengatasi Krisis Pangan dan Merealisasi Krisis Ekologi di Indonesia
Oleh: Rizqi Ramadhani
Ketahanan pangan selalu menjadi persoalan masyarakat dunia yang membutuhkan pangan untuk bertahan hidup. Penambahan jumlah masyarakat dunia setiap tahunnya mendorong pemerintah di tiap-tiap negara untuk menemukan program yang mendukung kedaulatan pangan bagi warga negara mereka. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan adalah program food estate. Menurut PERMEN LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2020 Tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate, Food estate adalah usaha pangan skala luas yang merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam melalui upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan di suatu Kawasan Hutan. Komoditas pangan yang rencananya akan diproduksi adalah padi, singkong, jagung serta komoditas strategis lainnya.
Penerapan food estate dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 (Permatasari, 2021). Sebelumnya, upaya pemerintah untuk merealisasikan kedaulatan pangan pernah dilakukan. Pada era Presiden Soeharto, Program Lahan Gambut Satu Juta Hektare (PLG) atau Mega Rice Project yang bertujuan untuk menciptakan swasembada beras (Iswinarno dan Sari, 2021). Namun, hasil dari program tersebut hanya mampu melakukan 1 kali panen padi dan menyisakan sekitar 1,4 juta hektare hutan gambut yang hancur dan menjadi sumber kebakaran hutan. Perhentian program PLG disebabkan oleh penolakan penggunaan teknologi oleh aktivis lingkungan, baik nasional maupun aktivis internasional (P dan Elly, 2018), permasalahan irigasi air dan rehabilitasi lahan. Sementara di daerah lainnya, terjadi konflik lahan, konflik sosial, ketersediaan infrastruktur agribisnis, masalah teknologi hingga politik. Pada era Presiden SBY, program serupa juga dilakukan yaitu Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan beberapa program food estate di Kalimantan yang juga mengalami kegagalan dan tidak sesuai dengan harapan (Kompas, 2020).
Presiden Joko Widodo ingin merealisasikan program food estate yang bertujuan untuk meningkatkan kedaulatan pangan nasional sehingga dapat mengantisipasi krisis pangan. Selain itu, food estate juga memberikan kesempatan terbukanya lapangan pekerjaan baru. Pengembangan food estate mengambil konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, organisasi dan manajemen modern (Nasution dan Ollani, 2020). Dalam NK RAPBN 2021, pengembangan food estate akan dilakukan di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Papua (Merauke). Rencana awal pembangunan food estate akan menggunakan lahan sebanyak 190 ribu hektar di Kalimantan Tengah, 120 ribu di Kalimantan Barat, 10 ribu hektar di Kalimantan Timur, 190 hektar di di Maluku dan 1,9 juta hektare di Papua (Agam dan Persada, 2017). Dalam pelaksanaannya, program ini menghabiskan anggaran yang cukup banyak yaitu ± 9 juta/Ha di lahan gambut lama (telah direhabilitasi) dan ± 30 juta/Ha lahan baru dengan total anggaran mencapai Rp.2,55 triliun (Kementerian Pertanian, 2020) yang berfokus pada budidaya padi di lahan seluas 30.000 Ha. Besarnya anggaran yang dibutuhkan, membuka kesempatan kerjasama investasi dengan pihak swasta agar anggaran program tidak membebani anggaran APBN. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan investor asing yang mendominasi investasi tersebut. Hal ini tentu menyebabkan masyarakat merasa tidak berhak atas kepemilikian lahan di tanah air mereka. Masalah anggaran adalah salah satu contoh kontra dan problema yang dihadapi dalam pelaksanaan program food estate. Telah kita ketahui bersama bahwa tidak hanya menghadapi krisis pangan, kita juga menghadapi krisis iklim dan ekologi. Apakah pelaksanaan program food estate mampu dilaksanakan berdasarakan asas keberlanjutan yang seimbang antara biologi, ekologi, kemanusiaan dan ekonomi?
Kegiatan food estate dilakukan oleh petani transmigran yang berasal dari luar daerah food estate dengan tujuan untuk melakukan pemekaran di wilayah food estate. Faktanya beberapa kegiatan food estate memiliki konflik masyarakat, yakni para petani yang merasa dirugikan dari program tersebut. Pasalnya, para petani merugi karena adanya perubahan tata cara penanaman dari pemerintah. Selain itu, adanya modernisasi pertanian buntut kerjasama antara pemerintah, korporasi dan petani lebih condong pada korporasi yang menekan para petani dan menjadi semakin tidak sejahtera (Kamim dan Reza, 2019). Selain itu, pelaksanaan food estate tidak benar-benar dilakukan di lahan yang sesuai dengan komoditas yang ditanam sehingga hasil panen tidak maksimal.
Tidak hanya konflik petani, kegiatan food estate secara terang-terangan ditentang oleh penggiat lingkungan yang menemukan kerugian lingkungan yang ditimbulkan akibat program tersebut. Pemilihan lahan untuk program tersebut menyebabkan banyak permasalahan dan trauma lingkungan. Lahan yang digunakan tidak hanya lahan baru, tetapi juga lahan yang telah rusak (dan telah direhabilitasi). Pada pembukaan lahan baru di Kalimantan Tengah merubah lahan tropika basah menjadi lahan terbuka yang menimbulkan beberapa masalah. Diantaranya berubahnya pola tata air dan kualitas air, berkurangnya daya serap air akibat penebangan pohon yang menyebabkan banjir pada musim hujan dan mudah untuk terbakar pada musim panas, punahnya beberapa spesies tumbuhan langka (Mawardi, 2007). Pada lahan yang telah rusak sebelumnya dapat menimbulkan trauma lingkungan karena lahan tersebut mengandung bahan sulfidik yang akan menimbulkan senyawa pirit yang bersifat racun dan harus diantisipasi agar tidak menimbulkan efek negatif kedepannya (Nasution dan Ollani, 2020). Permasalahan ini tentu menjadi krisis baru berupa krisis ekologi yang harus dihadapi masyrakat kedepannya.
Program food estate disebut juga sebagai perampasan ruang yang berlindung dibalik program ketahanan pangan. Alasannya adalah wilayah dan ruang yang digunakan untuk melaksanakan food estate yang sangat luas merupakan kawasan hutan. Pada kasus food estate di Papua, lahan kawasan hutan seluas hampir 2,7 hektare akan digunakan untuk merealisasikan program ini. Hal ini tentu mendorong laju konversi lahan dan deforestasi yang merupakan “red flag” yang harus diperhatikan karena memberikan ancaman lingkungan hidup dan relasi masyarakat dengan alam secara nyata (WALHI, 2021). Lebih jauh, pelaksanaan dan penentuan kebijakan program food estate tersebut tidak melibatkan Masyarakat adat dan Orang Asli Papua yang hidup dan berkaitan langsung dengan kawasan itu. Tidak hanya itu, food estate yang dilakukan di Papua mengesampingkan makanan pokok mayoritas mereka, yaitu sagu. Kawasan yang harusnya dapat memberikan ketahanan pangan bagi masyarakat, khususnya di Kawasan Hutan Papua malah dijadikan lahan sawah untuk menanam padi. Program ini tentu mengesampingkan hak Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua atas tanah, hutan dan hak-hak lainnya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas tidak mengherankan mengapa masih banyak pihak yang menolak pelaksanaan program food estate ini. Meskipun dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pembukaan lapangan pekerjaan tetapi aspek lain yang berkaitan kurang diperhatikan. Padahal untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan dibutuhkan keseimbangan antara biologi, ekologi, kemanusiaan (sosial) dan ekonomi. Tidak hanya itu, pelaksanaan program ini cenderung tergesa-gesa dan bahkan cenderung menyimpang dari definisi Ketahanan Pangan yang terdapat dalam PERMEN LHK No P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 memiliki definisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Kondisi negara Indonesia yang berbentuk kepulauan menjadikan laut sebagai pemisah dan penghubung antara pulau satu dan lainnya. Permasalahan supply chain, distribusi dan pasokan pangan menjadi permasalahan yang seharusnya ditemukan solusinya lebih dulu agar tujuan pemerataan pangan hingga pembangunan dapat tercapai secara nasional. Program food estate ini merupakan buah pemikiran yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia namun tidak diikuti dengan perencanaan yang matang. Tidak banyak terobosan baru yang lebih baik daripada program kedaulatan pangan yang sebelum-sebelumnya. Diharapkan pelaksanaan program yang bagus ini dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan mengedepankan aspek-aspek humanis, ekologi dan biologi.
Referensi
Agam, S. dan RM Ksatria B. Persada. 2017. Food Estate: Pangan Melimpah, Harga Lebih Murah. Indonesia Baik. Indonesiabaik.id. https://indonesiabaik.id/infografis/food-estate diakses 8 November 2021 00.12 WIT
Kamim, A. B. M dan Reza Altamaha. 2019. Modernisasi Tanpa Pembangunan Dalam Proyek Food Estate di Bulungan dan Merauke. Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan 5(2): 163- 179.
Kementan, 2020. Kebijakan dan Program Kementerian Pertanian Dalam Menjamin Ketahanan Pangan Di Era New Normal Pandemi Covid-19. https://ppid.ipb.ac.id/strategi-ketahanan- pangan-di-era-new-normal-pandemi-covid-19/ diakses 8 November 2021 00.14 WIT
Kompas. 2020. Menilik Proyek Food Estate di Indonesia yang Disebut Jokowi dalam Pidato Kenegaraan. https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/14/200300265/menilik-proyek- food-estate-di-indonesia-yang-disebut-jokowi-dalam-pidato?page=all diakses 7 November 23.33 WIT
Mawardi, 2007. Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Jurnal Teknik Lingkungan 8(3): 287-297.
Nasution, M. dan Ollani V. B. 2020. Tantangan Program Food Estate dalam Menjaga Ketahanan Pangan. Buletin APBN 5 (16): 7-10.
P., Setyo dan Elly J. 2018. Problems Analysis on Increasing Rice Production Through Food Estate Program in Bulungan Regency, North Kalimantan. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci 147 012043
Permatasari, A. P. 2021. Anggalia Putri: Soal Food Estate, Pemerintah Harus Lebih Transparan. www.ekuatorial.com https://www.ekuatorial.com/2021/02/anggalia-putri-soal-food- estate-pemerintah-harus-lebih-transparan/ diakses 8 November 2021 00.05 WIT
PERMEN LHK No 24.P/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 TENTANG PENYEDIAAN KAWASAN HUTAN UNTUK PEMBANGUNAN FOOD ESTATE
Walhi.or.id. 2021. Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan. https://www.walhi.or.id/food-estate-di-papua-perampasan-ruang-berkedok-ketahanan- pangan diakses 8 November 2021 00.07 WIT