Mengulik Isu Benih Bening Lobster di Indonesia
Oleh: Aqilla Fadhila Haya
Ekspor benih udang merupakan topik yang hangat dikalangan pelaku bidang perikanan, apalagi beberapa periode belakangan ini. Periode yang akan kita jelaskan pada artikel ini, yaitu periode Ibu Susi Pudjiastuti, Bapak Edhy Prabowo, dan Bapak Wahyu Trenggono.
Pada periode Ibu Susi, pelarangan ekspor benih digalakkan dengan tegas yang dilandasi dalam keberlanjutan ekosistem biota, dan ketimpangan sosial ekonomi dari para nelayan akibat dari pencarian benih yang dalam pembelian harga murah, distributor tinggi, dan ukuran yang kecil. Sementara itu, pada periode pak Edhy ekspor benih diperbolehkan karena banyak ditemukan oknum nakal saat periode sebelumnya yang melakukan penjual belian di beberapa negara asia seperti singapura dan vietnam, alasan lainnya karena tujuan budidaya dalam merekayasa pertumbuhan belum dapat diterapkan di Indonesia karena faktor biotik dan abiotiknya.
Dasar hukum berupa peraturan menteri terkait pelarangan dan pengeluaran (ekspor) benih lobster, kepiting, dan rajungan, khususnya ketentuan dan ukuran berat yang diizinkan, diantaranya :
- Permen KP 56/2016, dengan alasan penangkapan yang merusak dan menyebabkan kerugian ekonomi Indonesia; yaitu berisi batasan ukuran penangkapan pada panjang karapas diatas 8 cm dan berat diatas 200 gram
- Permen KP 12/2020, dengan pertimbangan menambah pemasukan kas negara yang menunjukkan pengaruh positif pada pemasukan negara, berisi batasan ukuran penangkapan pada panjang karapas diatas 6 cm dan berat diatas 150 gram; sanksi pelanggaran dapat berupa peringatan/teguran tertulis, pencabutan atau penggantian izin dokumen, pemberian denda yang ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Namun dalam penerapan ekonomi perikanannya pengaruh yang dihasilkan positif bagi beberapa perusahaan eksportir, dan negatif
bagi nelayan. Nelayan yang katanya diuntungkan dari adanya ekspor benih lobster, kesejahteraannya tidak kunjung naik malah mengalami kesulitan.
Pada periode bapak Edhy, terdapat beberapa pelanggaran :
- 14 perusahaan yang memasukkan BBL tidak sesuai dan melebihi angka tertera di dokumen (manipulasi dokumen).
- tidak ada kegiatan nasional mengenai BBL.
- perizinan instan kepada beberapa perusahaan yang baru dalam dunia bisnis dan yang terlibat dikenal dekat sama Pak Edhy jadi seperti ada unsur politis dan kolusi.
Solusi yang dapat ditawarkan dalam permasalahan benih ini :
- KKP menawarkan pengembangan budidaya sistem silvofishery untuk mendukung peningkatan produksi perikanan budidaya yang berkelanjutan.
- Budidaya kepiting dan rajungan dengan sistem silvofishery akan meningkatkan produktivitas lahan dan juga mendukung keberlanjutan usaha.Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar telah berhasil memijahkan dan mengembangkan usaha budidaya.
Pada periode bapak Wahyu, pelarangan ekspor benih digalakkan kembali karena kekayaan alam yang harus dijaga dengan digantikannya budidaya dalam negeri, dan jika sudah ukuran konsumsi akan diperbolehkan ekspor