Permasalahan Dan Strategi Pembangunan Komoditas Beras Di Indonesia
Oleh : Nanda Dwi Hafri
Jurusan : Budidaya Pertanian
Latar belakang
Indonesia adalah Negara agraris dengan kekayaan dalam bidang pertanian yang melimpah. Komoditas utama pertanianyang sangat potensialdi Indonesia adalah beras karena memiliki pangsa pengeluaran pangan kedua terbesar setelah makanan jadi pada tahun 2011, yaitu sebesar 17,28%, sedangkan pangsa pengeluaran pangan untuk komoditas umbi-umbian, pangan asal ternak, ikan, sayuran, dan buah-buahan secara berturut-turut hanya sebesar 0,98%; 5,11%; 8,51%; 7,68%; dan 4,25% (Rusono, 2014). Selain alasan tersebut, komoditas beras juga menjadi sangat potensial di Indonesia karena beras merupakan bahan makanan pokok masyarakat indonesia.
Walaupun demikian, ironisnyaproduksi beras nasional hingga saat ini masih belum mengalami kemajuan yang signifikan. Petani sebagai titik tumpu penghasil beras nasional masih belum merasakan kebijakan pemerintah yang dapat membantu mereka secara konsisten. Kebijakan-kebijakan yang diaplikasikan untuk sektor pertanian seperti subsidi benih, kredit istimewa, subsidi pupuk, dan lain-lain tidak berjalan dengan semestinya dan kerap mengalami kerugian (OECD, 2012).
Merujuk kepada fakta-fakta diatas, maka dalam tulisan ini penulis akan membahas mengenai permasalahan komoditas beras serta persawahan nasional. Selain membahas tentang permasalahannya, penulis juga akan memberikan solusi guna meningkatkan kuantitas dan kualitas beras nasional berdasarkan analisis dan pemahaman penulis. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat memberikan dampak positif terhadap kemajuan komoditas beras nasional.
Permasalahan
Akar permasalahan komoditas beras nasional sangat kompleks. Permasalahan ini bermulai dari kebijakan Lembaga pemerintahan, Swasta bahkan petani beras itu sendiri. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: minimnya anggaran sektor pertanian, pembagunan berbagai sektor pembangunan yang hanya terpusat di pulau jawa, alih fungsi lahan sawah, pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, dan penggunaan pupuk anorganik secara .
Anggaran untuk sektor pertanian dari tahun ke tahun hanya dibawah 1% dari total anggaran nasional. Anggaran yang diberikan untuk sektor pertanian pada tahun 2011, 2012 dan 2013 secara berturut-turut adalah sebanyak 16,7 triliun, 18 triliun, dan 17,8 triliun (Anonim, 2013). Anggaran yang diberikan untuk sektor pertanian dari tahun ke tahun ini tidak pernah dapat meningkatkan angka produksi beras nasional secara signifikan dan cenderung stagnan. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2012 hingga tahun 2013, produksi beras di Indonesia hanya meningkat sebesar dua juta ton dari 69 juta ton menjadi 71 juta ton dan mengalami penurunan produksi sebesar 1 juta ton pada tahun 2014. Alasan lain mengapa anggaran sektor pertanian masih belum mencukupi yaitu ditandai dengan tidak adanya koreksi dalam rangka mengatasi kebocoran subsidi, seperti pupuk bagi petani. Hal itu menunjukkan minimnya anggaran negara guna meningkatkan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Selain kebocoran subsidi pupuk, permasalahan yang paling terlihat adalah semakin meluasnya gagal tanam dan panen yang dialami petani.
Sentra produksi beras di Indonesia dinilai tidak merata. Berdasarkan data yang disajikan pada buku rencana pendahuluan jangka menengah nasional (RPJMN) bidang pangan dan pertanian 2015-2019, pada tahun 2012 sekitar 53% produksi beras di Indonesia berada di pulau Jawa, 23% di pulau sumatera, 11% di pulau Sulawesi, 7% di pulau Kalimantan, 5% di pulau Nusa Tenggara, dan hanya 1% di Maluku dan Papua. Selain sektor pertanian, pulau Jawa juga mengalami kemajuan di sektor lain setiap tahunnya. Sentralisasi berbagai sektor pembangunan di pulau jawa ini menyebabkan banyaknya lahan sawah yang dialih fungsikan menjadi sektor lain di pulau tersebut, seperti perumahan, industri, jalan, dan sektor-sektor lainnya (Rusono, 2014).
Alih fungsi lahan sawah di tanah air sulit dibendung. Luas lahan yang terkonversi tidak mampu diimbangi dengan ekstensifikasi melalui pembukaan sawah baru. Intensitas alih fungsi lahan sangat sulit dikendalikan dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk katagori tinggi. Bermulai dari tahun 2012, setiap tahun tak kurang dari 110.000 hektar lahan sawah beralih fungsi. Nilai alih fungsi lahan ini dinilai sangat membahayakan bagi produksi beras nasional (Anonim, 2014).
Permasalahan pangan beras Indonesia tidak pernah terlepas dari pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat. Merujuk kepada data yang dikemukakan oleh FAO dan IRRI (International Rice Research Institute), Indonesia tercatat merupakan Negara dengan angka konsumsi beras tertinggi, yaitu sebesar 139 kilogram per tahun pada tahun 2008. Setelah tahun demi tahun angka ini tidak mengalami penurunan yang signifikan, sedangkan Malaysia telah menurunkan konsumsi ini menjadi 80 kilogram per kapita per tahun dan jepang hanya sebesar 60 kilogram per kapita per tahun.
Penggunaan pupuk anorganik untuk pertanian saat ini semakin meningkat dan melebihi batasan pemakaian seiring dengan mahalnya harga jual pupuk organik. Menurut fertilizer hand book pada tahun 2003 dikutip oleh wirjodirdjo, et al, Penggunaan pupuk anorganik yang dilakukan oleh petani beras di Indonesia melebihi batas semestinya, yaitu sekitar 5000 juta ton yang seharusnya hanya 2000 juta ton. Penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan ini bukan hanya menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas beras nasional, tetapi juga menyebabkan lebih tingginya harga jual beras nasional daripada harga beras impor, sehingga minat masyarakat terhadap produksi beras nasional berkurang dan beras nasional tidak dapat bersaing dengan beras impor.
Solusi peningkatan kuantitas dan kualitas beras di Indonesia
Solusi yang sebaiknya diterapkan pertama kali oleh pemerintah adalah menaikkan anggaran pada sektor pertanian. Sebagian anggaran untuk sektor pertanian yang telah ditingkatkan ini digunakan untuk melaksanakan system Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Penulis berpendapat bahwa PTT padi sawah dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi beras di Indonesia. Sistem PTT padi sawah tersebut terdiri dari pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, pemilihan varietas unggul, penanaman benih bermutu, sistem tanam berdasarkan Pengelolaan Tanaman Terpadu, pengairan lahan sawah yang dilakukan berselang, pemupukan berimbang, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit terpadu, serta pengontrolan masa panen dan masa pasca panen.
Apabila PTT padi sawah ini diterapkan secara berkelanjutan, maka bukan hanya dapat bersaing dengan harga maupun kualitas beras luar negeri, tetapi diharapkan dapat menghentikan laju impor beras, sehingga Indonesia menjadi Negara yang swasembada beras. Salah satu sistem PTT padi sawah yang sangat diharapkan berpengaruh positif terhadap kemajuan pertanian Indonesia adalah sistem pemupukan berimbang.
Renggang hasil (yield gap) antara produktivitas beras dan luas areal sawah yang ada di indonesia sudah sangat kecil. Sebagai buktinya, produktivitas tanaman pangan padi Indonesia lebih tinggi 20 persen dibandingkan produktivitas Negara-negara Asean lain. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2014, jumlah produksi beras di Indonesia adalah 70.607.231 ton dengan nilai produktivitas 51,28 kwintal per hektar. Nilai produktivitas ini sudah sangat tinggi dibandingkan produktivitas beras dari Negara lain. Dengan kecilnya yield gap ini, maka dapat diartikan bahwa visi untuk memajukan sektor pertanian tanpa memperluas areal lahan pertanian mustahiluntuk dilakukan.
Ekstensifikasi (perluasan lahan) pertanian terutama sawah memang sangat sulit untuk dilakukan, mengingat laju alih fungsi lahan sawah yang terus meningkat. Solusi yang dapat diterapkan untuk ekstensifikasi pertanian ini adalah dengan melakukan kegiatan agroforestry. Agroforestry adalah penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman pertanian dan atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Kebun-kebun agroforest asli Indonesia harus memperoleh perhatian dengan tujuan untuk pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah rawan secara ekologis. Angka luas areal hutan Indonesia sangat tinggi, maka diharapkan dengan tingginya nilai ini dapat dimanfaatkan untuk pembukaan lahan sawah baru di wilayah hutan tersebut.
Menurut pengamatan penulis, system Ekstensifikasi lahan pertanian berupa agroforestry juga sangat baik apabila diterapkan di pulau lain selain pulau Jawa. Ekstensifikasi ini juga akan berdampak kepada keinginan masyarakat untuk melakukan imigrasi ke pulau lain, sehingga penyebaran sektor pertanian bukan hanya tertumpu di pulau Jawa. Pemerataan ini juga diharapkan dapat mengurangi alih fungsi lahan sawah di Indonesia, terutama pulau Jawa.
Pembuatan sistem irigasi untuk lahan sawah di areal hutan akan menghabiskan banyak dana dan menurangi luas areal hutan itu sendiri. Salah satu cara untuk menangani masalah ini adalah dengan penanaman varietas padi gogo. Padi gogo merupakan varietas padi yang diciptakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) agar dapat menjadi varietas unggul serta menjadi teknologi paling murah dan efisien untuk meningkatkan produksi padi lahan kering. Padi gogo memiliki potensi untuk mendukung peningkatan produksi padi nasional. Keberadaannya dapat menjadi solusi optimalisasi lahan kering sebagai pengganti lahan sawah yang terkonversi.